Artikel Keislaman


Edit

Bagian Tiga: Fatwa-Fatwa Hukum Hizbut Tahrir

Indeks

  1. Mendorong Berfatwa Tanpa Ilmu
  2. Berjabat Tangan dengan Perempuan Ajnabi
  3. Mencium Wanita Ajnabi yang bukan Isteri
  4. Membolehkan Melihat Aurat
  5. Melihat Mahram Yang Sedang Bugil

Mendorong Berfatwa Tanpa Ilmu

Taqiyyuddin al-Nabhani berkata dalam Kitab al-Tafkir berikut ini:

(إِنَّ اْلإِنْسَانَ) مَتَى أَصْبَحَ قَادِرًا عَلىَ اْلاِسْتِنْبَاطِ فَإِنَّهُ حِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ مُجْتَهِدًا، وَلِذَلِكَ فَإِنَّ اْلاِسْتِنْبَاطَ أَوِ اْلاِجْتِهَادَ مُمْكِنٌ لِجَمِيْعِ النَّاسِ، وَمُيَسَّرٌ لِجَمِيْعِ النَّاسِ وَلاَ سِيَّمَا بَعْدَ أَنْ أَصْبَحَ بَيْنَ أَيْدِي النَّاسِ كُتُبٌ فِي اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ وَالشَّرْعِ اْلإِسْلاَمِيِّ.

Sesungguhnya seseorang apabila telah mampu melakukan ber-istinbath, maka ia sudah menjadi mujtahid. Oleh karena itu sesungguhnya istinbath atau ijtihad itu mungkin dilakukan oleh semua orang dan mudah dicapai oleh siapa saja yang menginginkan lebih-lebih sesudah buku-buku bahasa Arab dan buku-buku syariat Islam telah tersedia di hadapan banyak orang dewasa ini.

Pernyataan al-Nabhani di atas memberikan kesimpulan bahwa ijtihad itu merupakan sesuatu yang gampang dan mudah diraih oleh siapa saja, lebih-lebih setelah kitab-kitab bahasa Arab dan syariat Islam seperti kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih tersedia di hadapan banyak orang dewasa ini, dan dengan mudah dapat dibaca di berbagai perpustakaan pribadi maupun umum atau dapat dibeli di toko-toko kitab. Pernyataan seperti di atas banyak sekali terdapat dalam buku-buku Hizbut Tahrir. Pernyataan tersebut sangat berpotensi membuka pintu fatwa dengan tanpa ilmu dan tanpa mengetahui syarat-syarat ijtihad serta sangat berpotensi menimbulkan kekacauan dalam urusan agama dengan banyaknya orang-orang yang berfatwa tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan agama yang memadai.

Sudah barang tentu pernyataan tersebut tidak benar karena beberapa alasan. Pertama, ijtihad bukan sesuatu yang gampang dan mudah dicapai oleh siapa saja yang ingin meraihnya. Karena berdasarkan pernyataan para ulama, seorang mujtahid disyaratkan harus memiliki perbendaharaan yang cukup tentang ayat-ayat dan hadits-hadits ahkam, yang berkaitan dengan hukum, mengetahui teks yang 'am dan yang khash, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, nasikh dan mansukh, mengetahui bahwa suatu hadits termasuk yang mutawatir, ahad, mursal dan muttashil, mengetahui 'adalah dan kecacatan (jarh) para perawi hadits, mengetahui pendapat-pendapat para sahabat dan generasi-generasi setelahnya sehingga mengetahui hukum yang disepakati dan yang tidak disepakati, mengetahui qiyas yang jaliy dan khafi, qiyas yang shahih dan yang fasid, mengetahui bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur'an dengan baik dan mengetahui prinsip-prinsip akidah. Seseorang dapat dikategorikan mujtahid juga disyaratkan seorang yang adil, cerdas dan hafal terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tentang hukum. Persyaratan semacam ini jelas tidak mudah dimiliki oleh siapa saja apalagi di akhir zaman seperti sekarang ini.

Kedua, seorang alim bisa dikategorikan sebagai mujtahid harus diakui oleh para ulama telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Sementara Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani sendiri tidak seorang pun dari kalangan ulama yang mengakuinya telah memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut atau bahkan hanya mendekati saja sekalipun. Sehingga ketika keilmuan seseorang tidak diakui oleh para ulama, maka keilmuannya sama dengan tidak ada.

Ketiga, Rasulullah saw sendiri mengakui bahwa tidak semua orang mampu menggali hukum dari hadits-hadits beliau. Dalam hadits Zaid bin Tsabit, Rasulullah saw bersabda:

عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ d قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ j يَقُولُ نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ وَفِي رواية فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.

Zaid bin Tsabit berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Semoga Allah membuat elok pada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia mengingatnya, kemudian menyampaikannya seperti yang pernah didengarnya. Karena tidak sedikit orang yang menyampaikan suatu hadits dariku tidak dapat memahaminya." Dalam riwayat lain dikatakan: “Tidak sedikit orang yang memperoleh suatu hadits dari seseorang lebih memahami daripada orang yang mendengar hadits itu secara langsung dariku."

Hadits tersebut menunjukkan bahwa di antara sahabat Rasul saw yang mendengar hadits dari beliau secara langsung, ada yang kurang memahami terhadap makna-makna yang dikandung oleh hadits tersebut. Namun kemudian ia menyampaikan hadits itu kepada murid-muridnya yang terkadang lebih memahami terhadap kandungan maknanya. Pemahaman lebih, terhadap kandungan hadits tersebut menyangkut penggalian hukum-hukum dan masalah-masalah yang nantinya disebut dengan proses istinbath atau ijtihad. Dari sini dapat dipahami, bahwa di antara sahabat Nabi saw ada yang kurang mengerti terhadap maksud suatu hadits daripada murid-murid mereka. Dan murid-murid mereka yang memiliki pemahaman lebih terhadap hadits tadi disebut dengan mujtahid yang menjadi fokus dalam hadits Nabi saw:

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ d أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ j يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.

Amr bin al-Ash mendengar Rasulullah saw bersabda: "Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala."

Berjabat Tangan dengan Perempuan Ajnabi

Islam sebagai agama yang sempurna menganjurkan umatnya agar melakukan 'iffah, menjaga kesucian dan kebersihan diri dari perbuatan yang hina dan maksiat, menganjurkan akhlak yang mulia, dan mengharamkan jabatan tangan antara laki-laki dan perempuan ajnabi (bukan mahram dan bukan isteri) dan menyentuhnya. Namun dalam persoalan ini, Hizbut Tahrir mengeluarkan fatwa yang nyeleneh dan berpotensi menebarkan dekadensi moral, yaitu fatwa bolehnya berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ajnabi (bukan mahram). Hal ini seperti dikatakan oleh Taqiyyuddin al-Nabhani dalam bukunya al-Nizham a-Ijtima'i fi al-Islam:

يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يُصَافِحَ الْمَرْأَةَ وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تُصَافِحَ الرَّجُلَ دُوْنَ حَائِلٍ بَيْنَهُمَا.

Orang laki-laki boleh berjabat tangan dengan orang perempuan, dan sebaliknya orang perempuan boleh berjabat tangan dengan orang laki-laki tanpa ada penghalang.

Alasan Hizbut Tahrir membolehkan jabat tangan laki-laki dan perempuan ajnabi adalah bahwa Rasulullah saw –kata mereka- berjabatan tangan dengan perempuan dengan dalil hadits Ummu Athiyyah ketika melakukan bai'at yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Ummu Athiyyah berkata:

فَقَبَضَتْ امْرَأَةٌ مِنَّا يَدَهَا

Salah seorang di antara kami (perempuan-perempuan) menggenggam tangannya.

Hizbut Tahrir mengatakan bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa yang lain tidak menggenggam tangannya. Tentu saja asumsi Hizbut Tahrir tersebut keliru. Para ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah mengatakan bahwa dalam hadits di atas tidak ada penyebutan bahwa perempuan yang lain menjabat tangan Nabi saw. Jadi yang dikatakan oleh Hizbut Tahrir adalah salah faham dan kebohongan terhadap Rasulullah saw. Hadits di atas bukanlah nash yang menjelaskan hukum bersentuhnya kulit dengan kulit. Bahkan sebaliknya hadits tersebut menegaskan bahwa para wanita saat membai'at mereka memberi isyarat tanpa ada sentuh menyentuh sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya di bab yang sama dengan hadits Ummu Athiyyah. Hadits ini bersumber dari Sayyidah 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia mengatakan:

كَانَ النَّبِيُّ j يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالْكَلاَمِ

Nabi saw memba'iat kaum wanita dengan berbicara (bukan jabat tangan).

'Aisyah juga mengatakan:

لاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ j يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ: قَدْ بَايَعْتُكِ عَلىَ ذَلِكَ.

Tidak, demi Allah, tidak pernah sekalipun tangan Nabi saw menyentuh tangan seorang perempuan ketika bai'at. Beliau tidak membai'at para wanita kecuali hanya dengan mengatakan: "Aku telah menerima bai'at kalian atas hal-hal tersebut."

Sedangkan dalil keharaman jabat tangan laki-laki dan perempuan ajnabi adalah hadits-hadits berikut ini:

وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ

Zina tangan adalah menyentuh.

Dalam riwayat Ahmad disebutkan:

وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ

Zina tangan adalah menyentuh.

Dalam riwayat Ibn Hibban juga disebutkan:

وَالْيَدُ زِنَاؤُهَا اللَّمْسُ

Zina tangan adalah menyentuh.

Dalam hadits-hadits di atas, Rasulullah saw menganggap bersentuhan sebagai zina tangan yang berarti hukumnya haram. Keharaman jabatan tangan ini juga diperkuat dengan hadits shahih berikut ini:

عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ j: لأَنْ يُطْعَنَ أَحَدُكُمْ بِحَدِيْدَةٍ فِي رَأْسِهِ خَيْرٌ لَهُ مَنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ.

Ma'qil bin Yasar berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Seandainya kepala salah seorang kalian ditusuk dengan potongan besi, niscaya hal itu lebih baik baginya (lebih ringan) daripada [disiksa karena maksiat] menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.

Kata massu dalam hadits di atas maknanya adalah menyentuh dengan tangan, dan bukan bermakna bersetubuh sebagaimana asumsi Hizbut Tahrir, karena perawi hadits tersebut yaitu sahabat Ma'qil bin Yasar memahami hadits ini dengan makna menyentuh dengan tangan sebagaimana dalam riwayat al-Imam Ibn Abi Syaibah al-Kufi dalam kitabnya al-Mushannaf.

Sebagian Hizbut Tahrir ada yang berasumsi bahwa hadits Ma'qil bin Yasar tersebut adalah hadits ahad, bukan hadits mutawatir, sehingga tidak dapat dijadikan dalil keharaman menyentuh wanita yang bukan mahram. Tentu saja alasan ini tidak benar, karena hadits ahad dapat dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum fiqih sebagaimana pandangan para ulama ushul fiqih.

Hizbut Tahrir juga mengatakan, bahwa Nabi saw pernah dituntun seorang budak perempuan yang berkulit hitam di perkampungan Madinah. Menurut Hizbut Tahrir hadits ini menjadi dalil bolehnya menjabat tangan perempuan tanpa tabir (hail). Tentu saja alasan ini sangat lemah, karena hadits tersebut tidak menegaskan bahwa budak perempuan itu menyentuh tangan Nabi saw secara langsung dan tanpa tabir (hail), dan pula tidak ada dalil bahwa budak perempuan itu sudah sampai pada usia disyahwati. Oleh karena itu hadits ini masih mengandung banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa mengalahkan hadits Muslim dan hadits-hadits lain di atas yang secara tegas melarang persentuhan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

Mencium Wanita Ajnabi yang bukan Isteri

Selain membolehkan laki-laki menjabat tangan wanita yang bukan mahramnya, Hizbut Tahrir juga mengeluarkan fatwa mesum yaitu membolehkan laki-laki mencium wanita ajnabi yang bukan istri. Hal ini seperti tertulis dalam selebaran tanya jawab Hizbut Tahrir tertanggal 24 Rabiul Awal 1390 H berikut ini:

السُّؤَالُ: مَا حُكْمُ الْقُبْلَةِ بِشَهْوَةٍ مَعَ الدَّلِيْلِ؟ الْجَوَابُ: ... قَدْ فُهِمَ مِنْ مَجْمُوْعِ اْلأَجْوِبَةِ الْمَذْكُوْرَةِ أَنَّ الْقُبْلَةَ بِشَهْوَةٍ مُبَاحَةٌ وَلَيْسَتْ حَرَامًا... لِذَلِكَ نُصَارِحُ النَّاسَ بِأَنَّ التَّقْبِيْلَ مِنْ حَيْثُ هُوَ تَقْبِيْلٌ لَيْسَ بِحَرَامٍ لأَنَّهُ مُبَاحٌ لِدُخُوْلِهِ تَحْتَ عُمُوْمَاتِ اْلأَدِلَّةِ الْمُبِيْحَةِ لأَفْعَالِ اْلإِنْسَانِ الْعَادِيَةِ، فَالْمَشْيُ وَالْغَمْزُ وَالْمَصُّ وَتَحْرِيْكُ اْلأَنْفِ وَالتَّقْبِيْلُ وَزَمُّ الشَّفَتَيْنِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ اْلأَفْعَالِ الَّتِيْ تَدْخُلُ تَحْتَ عُمُوْمَاتِ اْلأَدِلَّةِ...فَالصُّوْرَةُ الْعَادِيَةُ لَيْسَتْ حَرَامًا، بَلْ هِيَ مِنَ الْمُبَاحَاتِ، وَلَكِنْ الدَّوْلَةُ تَمْنَعُ تَدَاوُلَهَا...وَتَقْبِيْلُ رَجُلٍ لاِِمْرَأَةٍ فِي الشَّارِعِ سَوَاٌء كَانَ بِشَهْوَةٍ أَمْ بِغَيْرِ شَهْوَةٍ فَإِنَّ الدَّوْلَةَ تَمْنَعُهُ فِي الْحَيَاةِ الْعَامَّةِ...فَالدَّوْلَةُ فِي الْحَيَاةِ الْعَامَّةِ قَدْ تَمْنَعُ الْمُبَاحَاتِ...فَمِنَ الرِّجَالِ مَنْ يَلْمَسُ ثَوْبَ الْمَرْأَةَ بِشَهْوَةٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْظُرُ إِلَى حِذَائِهَا بِشَهْوَةٍ، وَيَسْمَعُ صَوْتَهَا مِنَ الرَّادِيُو بِشَهوْةَ،ٍ وَتَتَحَرَّكُ فِيْهِ غَرِيْزَةُ الْجِنْسِ عَلىَ وَجْهٍ يُحَرِّكُ ذَكَرَهُ مِنْ سَمَاعِ صَوْتِهَا مُبَاشَرَةً، أَوْ مِنَ الْغِنَاءِ، أَوْ مِنْ قِرَاءَةِ إِعْلاَنَاتِ الدِّعَايَةِ أَوْ مِنْ وُصُوْلِ رِسَالَةٍ مِنْهَا، أَوْ نَقْلٍ لَهُ مِنْهَا مَعَ غَيْرِهَا...فَهَذِهِ أَفْعَالٌ بِشَهْوَةٍ كُلُّهَا تَتَعَلَّقُ بِالْمَرْأَةٍ، وَهِيَ مُبَاحَةٌ لِدُخُوْلِهَا تَحْتَ أَدِلَّةِ اْلإِبَاحَةِ. اهـ.

Soal: Bagaimana hykum ciuman dengan syahwat beserta dalilnya?

Jawab: Dapat dipahami dari kumpulan jawaban yang lalu bahwa ciuman dengan syahwat adalah perkara yang mubah dan tidak haram... karena itu kita berterus terang kepada masyarakat bahwa mencium dilihat dari segi ciuman saja bukanlah perkara yang haram, karena ciuman tersebut mubah sebab ia masuk dalam keumuman dalil-dalil yang membolehkan perbuatan manusia yang biasa, maka perbuatan berjalan, menyentuh, mengecup dua bibir dan yang semacamnya tergolong dalam perbuatan yang masuk dalam keumuman dalil... makanya status hukum gambar (seperti gambar wanita telanjang) yang biasa tidaklah haram tetapi tergolong hal yang mubah tetapi negara kadang melarang beredarnya gambar seperti itu. Karena negara bisa saja melarang dalam pergaulan dan kehidupan umum beberapa hal yang sebenarnya mubah ... di antara lelaki ada yang menyetuh baju perempuan dengan syahwat, sebagian ada yang melihat sandal perempuan dengan syahwat atau mendengar suara perempuan dari radio dengan syahwat lalu nafsunya bergejolak sehingga dzakarnya bergerak dengan sebab mendengar suaranya secara langsung atau dari nyanyian, atau dari suara-suara iklan atau dengan sampainya surat darinya ... maka perbuatan-perbuatan itu seluruhnya disertai dengan syahwat dan semuanya berkaitan dengan perempuan. Kesemuanya itu boleh, karena masuk dalam keumuman dalil yang membolehkannya.

Demikian ajaran mesum yang disebarkan oleh Hizbut Tahrir, na'udzu billahi min dzalik. Dalam selebaran tanya jawab Hizbut Tahrir, tertanggal 8 Muharram 1390 H, mereka juga menyatakan sebagai berikut:

وَمَنْ قَبَّلَ قَادِمًا مِنْ سَفَرٍ رَجُلاً كَانَ أَوِ امْرَأَةً، أَوْ صَافَحَ ءَاخَرَ رَجُلاً كَانَ أَوِ امْرَأَةً، وَلَمْ يَقُمْ بِهَذَا الْعَمَلِ مِنْ أَجْلِ الْوُصُوْلِ إِلَى الزِّنَى أَوِ اللِّوَاطِ فَإِنَّ هَذَا التَّقْبِيْلَ لَيْسَ حَرَامًا، وَلِذَلِكَ كَانَا حَلاَلَيْنِ.

Barangsiapa mencium orang yang tiba dari perjalanan, laki-laki atau perempuan, atau berjabatan tangan dengan laki-laki atau perempuan, dan dia melakukan itu bukan untuk berzina atau liwath (homoseks) maka ciuman tersebut tidaklah haram, karenanya baik ciuman maupun jabatan tangan tersebut hukumnya halal (boleh).

Dalam selebaran yang sama, tertanggal 20 Shafar 1390 H, Hizbut Tahrir juga mengeluarkan fatwa mesum yang sama:

فَلاَ يُقَالُ مَا هُوَ دَلِيْلُ إِبَاحَةِ تَقْبِيْلِ الْمَرْأَةِ، وَمَا هُوَ دَلِيْلُ إِبَاحَةِ مُصَافَحَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ مَا هُوَ دَلِيْلُ التَّكَلُّمِ مَعَ الْمَرْأَةِ، وَلاَ مَا هُوَ دَلِيْلُ إِبَاحَةِ سَمَاعِ صَوْتِ الْمَرْأَةِ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِمَّا يَدْخُلُ تَحْتَ عُمُوْمَاتِ اْلأَدِلَّةِ، بَلِ الَّذِيْ يُقَالُ: مَا هُوَ دَلِيْلُ تَحْرِيْمِ تَقْبِيْلِ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ؟ فَيُقَالُ: دُخُوْلُ هَذَا التَّقْبِيْلِ تَحْتَ دَلِيْلِ تَحْرِيْمِ الزِّنَا يَجْعَلُهُ حَرَامًا، فَإِذَا لَمْ يَدْخُلْ يَظِلُّ مُبَاحًا حَتَّى يَثْبُتَ تَحْرِيْمُهُ بِدَلِيْلٍ مَا.

Jadi tidak bisa dikatakan apakah dalil yang membolehkan mencium wanita, apakah dalil yang membolehkan menjabat tangan wanita, apakah dalil yang membolehkan berbicara dengan wanita, apakah dalil yang membolehkan mendengarkan suasa wanita dan lain-lain yang masuk di bawah keumuman dalil-dalil. Justru yang perlu ditanyakan adalah, apakah dalil yang mengharamkan laki-laki mencium wanita yang bukan mahram? Pertanyaan ini dijawab, bahwa masuknya hukum ciuman di bawah dalil keharaman zina menjadikannya haram. Ketika ciuman ini tidak masuk, maka tetap dibolehkan sampai ada dalil yang menetapkan keharamannya..

Demikianlah Hizbut Tahrir mengeluarkan fatwa mesum, liberal dan menebarkan dekadensi moral di kalangan kaum Muslimin, bahwa pergi untuk berzina tidak haram, ciuman laki-laki dan perempuan tidak haram, meraba, mengecup dan menyentuh baju perempuan yang bukan istrinya juga tidak haram. Hizbut Tahrir menganggap semua hal tersebut sebagai perkara mubah (boleh) dan halal. Tentu saja fatwa-fatwa di atas bertentangan dengan hadits riwayat al-Thabarani sebelumnya. Juga bertentangan dengan hadits shahih berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ j قَالَ كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ.

Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw, bersabda: "Anak Adam telah ditetapkan bagiannya dari zina dan pasti ia melakukannya. Zina kedua mata adalah memandang. Zina kedua telinga adalah mendengarkan. Zina lidah adalah berbicara. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki kalah melangkah. Sedangkan hati menginginkan dan mengkhayalkan. Dan kesemuanya akan dibenarkan atau diduskan oleh farji (kemaluan)."

Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ j قَالَ لِكُلِّ ابْنِ آدَمَ حَظُّهُ مِنْ الزِّنَا وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلاَنِ تَزْنِيَانِ فَزِنَاهُمَا الْمَشْيُ وَالْفَمُ يَزْنِي فَزِنَاهُ الْقُبَلُ.

Abu Hurairah berkata: "Nabi saw bersabda: "Setiap anak Adam memiliki bagian dari zina. Kedua tangan berzina, dan zinanya adalah menyentuh. Kedua kaki berzina, dan zinanya adalah berjalan. Dan mulut berzina dan zinanya adalah mengecup."

Membolehkan Melihat Aurat

Dalam selebaran yang terbit tanggal 8 Mei 1970, Hizbut Tahrir menyatakan bahwa aurat laki-laki adalah wilayah antara pusar dan lutut. Dengan sangat kuat Hizbut Tahrir di sini mendiskusikan alasan sebagian kalangan yang mengambil dalil dari hadits-hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah membuka pahanya, bahwa hadits-hadits tersebut membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi bagi Rasulullah saw, bukan sesuatu yang menjadi hukum bagi umat secara umum, sehingga tetap pada kesimpulan bahwa paha laki-laki adalah aurat. Ini merupakan kajian Hizbut Tahrir yang memiliki bobot ilmiah yang patut dihargai.

Hanya saja di bagian akhir tulisan tersebut, Hizbut Tahrir mengeluarkan fatwa hukum tabu dan nyeleneh, seperti kebiasaannya, dan menyatakan bahwa larangan laki-laki melihat aurat laki-laki dan larangan perempuan melihat aurat perempuan adalah terbatas pada aurat besar (al-'aurah al-mughallazhah), yaitu dua kemaluan saja (al-sau'atain). Dalam hal ini Hizbut Tahrir berkata:

اَلْمُرَادُ فِي النَّهْيِ عَنْ نَظْرِ الرَّجُلِ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَالْمَرْأَةِ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، الْمُرَادُ مِنْهُ الْعَوْرَةُ الْمُغَلَّظَةُ، أَيِ السَّوْءَتَانِ، وَهُمَا الْقُبُلُ وَالدُّبُرُ، وَلَيْسَ مُطْلَقَ الْعَوْرَةِ، أَمَّا الْمَحَارِمُ فَإِنَّهُمْ لَيْسُوْا دَاخِلِيْنَ فِي الْحَدِيْثِ.

Yang dimaksud dengan larangan laki-laki melihar aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan, maksudnya adalah melihat aurat besar yakni dua kemaluan, jalan depan dan jalan belakang, dan bukan aurat secara mutlak. Adapun mahram-mahram maka mereka tidak masuk dalam larangan hadits tersebut.

Sudah barang tentu fatwa Hizbut Tahrir di atas yang membolehkan melihat aurat, kecuali dua kemaluan saja tergolong fatwa tabu, nyeleneh dan liberal. Karena larangan melihat aurat tidak terbatas pada aurat besar saja. Hal ini bisa dilihat dengan memperhatikan beberapa hadits berikut ini:

عَنْ جَرْهَدٍ اْلأَسْلَمِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ j مَرَّ بِهِ وَهُوَ كَاشِفٌ عَنْ فَخِذِهِ فَقَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.

Dari Jarhad al-Aslami, bahwa Nabi saw lewat bertemu dengan Jarhad yang sedang membuka pahanya, lalu Nabi saw bersabda: "Apakah kamu tidak tahu bahwa paha itu aurat."

Dalam riwayat lain:

عَنْ جَرْهَدٍ الأسلمي وَنَفَرٍ مِنْ أَسْلَمَ سِوَاهُ ذَوِي رِضًا أَنَّ رَسُولَ اللهِ j مَرَّ عَلَى جَرْهَدٍ وَفَخِذُ جَرْهَدٍ مَكْشُوفَةٌ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ j يَا جَرْهَدُ غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ يَا جَرْهَدُ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.

Dari Jarhad al-Aslami dan beberapa orang dari suku Aslam yang diridhai, bahwa Rasulullah saw lewat bertemu Jarhad, sedang pahanya dalam keadaan terbuka di dalam Masjid. Lalu Rasulullah saw bersabda kepadanya: "Wahai Jarhad, tutuplah pahamu, karena paha itu aurat."

Dalam hadits lain juga disebutkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ رَسُولُ اللهِ j عَلَى رَجُلٍ وَفَخِذُهُ خَارِجَةٌ فَقَالَ غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ فَخِذَ الرَّجُلِ مِنْ عَوْرَتِهِ.

Ibn Abbas berkata: "Suatu ketika Rasulullah saw lewat bertemu seorang laki-laki yang pahanya terbuka. Lalu beliau berkata: "Tutuplah pahamu, karena paha laki-laki itu aurat."

Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga menjelaskan batasan aurat laki-laki:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ j مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيرَهُ فَلاَ يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَوْرَتِهِ فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ.

Dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Perintahlah anak-anak kalian mengerjakan shalat ketika berusia tujuh tahun, pukullah mereka karena meninggalkannya ketika berusia sepuluh tahun dan pisahkan di antara mereka dalam tempat tidur. Apabila salah seorang kalian menikahkan budaknya atau buruh upahannya, maka janganlah sekali-kali melihat pada bagian auratnya karena wilayah di bawahnya pusar dan lututnya adalah termasuk auratnya."

Hadits-hadits di atas menjelaskan secara tegas bahwa paha seorang laki-laki termasuk aurat yang harus ditutupi. Sedangkan hadits terakhir menjelaskan batasan aurat laki-laki, yaitu wilayah antara pusar dan lututnya, yang tidak boleh dilihat oleh orang lain meskipun oleh sesama jenisnya. Hal ini juga dipertegas oleh hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ j قَالَ لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ .

Dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Janganlah seorang laki-laki melihat pada aurat laki-laki, dan janganlah seorang perempuan melihat pada aurat perempuan."

Dalam hadits ini Rasulullah saw melarang melihat aurat orang lain secara mutlak tanpa membedakan antara aurat besat dan aurat kecil, meskipun aurat sesama jenisnya. Hal ini berbeda dengan pernyataan Hizbut Tahrir yang menyatakan bahwa larangan melihat aurat sesama jenis hanya terbatas pada aurat besar saja, yaitu dua kemaluan. Al-Imam al-Nawawi berkata:

وَأَمَّا أَحْكَام الْبَاب فَفِيهِ تَحْرِيمُ نَظَرِ الرَّجُل إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَالْمَرْأَةِ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَهَذَا لاَ خِلاَفَ فِيهِ. وَكَذَلِكَ نَظَرُ الرَّجُلِ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةِ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ حَرَامٌ بِاْلإِجْمَاعِ، وَنَبَّهَ j بِنَظَرِ الرَّجُلِ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ عَلَى نَظَرِهِ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَذَلِكَ بِالتَّحْرِيمِ أَوْلَى، وَهَذَا التَّحْرِيمُ فِي حَقِّ غَيْرِ اْلأَزْوَاجِ وَالسَّادَةِ.

Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan bab ini, maka hadits tersebut mengandung hukum keharaman laki-laki melihat aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan, hal ini tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Demikian pula laki-laki melihat pada aurat perempuan dan perempuan melihat pada aurat laki-laki adalah haram berdasarkan ijma' ulama. Nabi saw juga mengingatkan dengan menyebutkan larangan laki-laki melihat aurat laki-laki pada larangan laki-laki melihat aurat perempuan, yang hal ini memang lebih diharamkan. Tentu keharaman melihat lawan jenis ini berlaku pada selain suami [pada istrinya) dan majikan [pada budaknya].

Melihat Mahram Yang Sedang Bugil

Dalam selebaran tertanggal 12 September 1973, Hizbut Tahrir mengeluarkan fatwa hukum yang tidak kalah tabu, nyeleneh dan liberal dari fatwa-fatwa di atas. Dalam selebaran tersebut Hizbut Tahrir menyatakan bahwa aurat perempuan di hadapan para perempuan dan mahramnya (laki-laki) adalah dua kemaluan saja. Dalam hal ini Hizbut Tahrir mengatakan:

جَمِيْعُ عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ حَلاَلٌ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا الْمَحْرَمُ، إِلاَّ السَّوْءَتَيْنِ أَيِ الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةَ لِوُجُوْدِ حَدِيْثٍ عَامٍّ بِشَأْنِهَا.

Semua aurat perempuan halal dilihat oleh mahramnya, kecuali dua kemaluan yaitu aurat besar karena adanya hadits yang umum mengenai aurat besar tersebut.

Pernyataan Hizbut Tahrir di atas menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh melihat aurat mahram perempuannya selain aurat besarnya, yaitu dua kemaluan depan dan belakang. Dengan kata lain, ia boleh melihat mahram perempuannya dalam pakaian baju renang yang hanya menutupi dua kemaluannya. Dua kemaluan itulah yang diharamkan dilihat oleh mahram laki-lakinya menurut Hizbut Tahrir.

Di sisi lain, kita akan terkejut ketika membaca fatwa lain dari Hizbut Tahrir yang paradoks dengan fatwa di atas serta lebih tabu dan liberal, di mana pada halaman yang sama fatwa tersebut Hizbut Tahrir membolehkan melihat aurat mahramnya sampai aurat besarnya, yakni tanpa pengecualian dua kemaluan. Dengan kata lain, Hizbut Tahrir membolehkan melihat mahramnya dalam keadaan bugil tanpa ditutupi oleh sehelai benang pun. Dalam bagian lain fatwa tersebut Hizbut Tahrir mengatakan:

اَلْمُرَادُ فِي النَّهْيِ عَنْ نَظْرِ الرَّجُلِ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ ، وَالْمَرْأَةِ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ ، الْمُرَادُ مِنْهُ الْعَوْرَةُ الْمُغَلَّظَةُ ، أَيِ السَّوْءَتَانِ ، وَهُمَا الْقُبُلُ وَالدُّبُرُ ، وَلَيْسَ مُطْلَقَ الْعَوْرَةِ، أَمَّا الْمَحَارِمُ فَإِنَّهُمْ لَيْسُوْا دَاخِلِيْنَ فِي الْحَدِيْثِ، لأَنَّ آيَةَ الْمَحَارِمِ عَامَّةٌ فَيَجُوْزُ لِلأَبِ أَنْ يَكْشِفَ سَوْءَةَ وَلَدِهِ لِيُعَلِّمَهُ اْلاِسْتِنْجَاءَ، وَيَجُوْزُ لِلْبِنْتِ أَنْ تَكْشِفَ عَوْرَةَ أَبِيْهَا وَتُسَاعِدَهُ عَلىَ اْلاِسْتِنْجَاءِ وَعَلىَ اْلاِسْتِحْمَامِ.

Yang dimaksud dengan larangan laki-laki melihar aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan, maksudnya adalah melihat aurat besar yakni dua kemaluan, jalan depan dan jalan belakang, dan bukan aurat secara mutlak. Adapun mahram-mahram maka mereka tidak masuk dalam larangan hadits tersebut, karena ayat tentang mahram bersifat umum, sehingga seorang ayah boleh membuka kemaluan anaknya untuk mengajarinya istinja', dan seorang anak perempuan boleh membuka aurat ayahnya dan membantunya beristinja' dan mandi.

Dalam fatwa ini, Hizbut Tahrir membolehkan seorang laki-laki melihat aurat mahramnya dalam keadaan bugil, apakah mahram itu masih kecil maupun sudah dewasa, baik dalam kondisi darurat maupun tidak darurat. Fatwa di atas tidak dapat diarahkan pada kondisi darurat, karena Hizbut Tahrir mengakui kondisi darurat terbatas pada soal makanan ketika seseorang diyakini akan meninggal bila tidak menjamah makanan yang haram sebagaimana selebaran Hizbut Tahrir yang terbit tanggal 7 Rabiul Awal 1390 H/12 Mei 1970.

Kedua fatwa nyeleneh dan liberal Hizbut Tahrir di atas sangat paradoks. Pertama mengatakan bahwa seseorang boleh melihat aurat mahramnya kecuali dua kemaluan atau aurat besar. Namun kemudian, Hizbut Tahrir menyatakan bahwa hadits tentang larangan melihat aurat itu tidak berlaku pada mahram, dengan artian seseorang boleh melihat aurat mahramnya meskipun aurat besarnya dan dalam keadaan bugil.

Demikianlah fatwa-fatwa tabu, nyeleneh dan liberal Hizbut Tahrir, yang membuktikan bahwa semangat mereka yang berlebihan dalam memperjuangkan tegaknya syariat dan khilafah Islamiyah tidak didukung dengan latar belakang ilmu pengetahuan agama yang memadai, sehingga kerap kali aliran ini mengeluarkan statemen dan fatwa-fatwa yang sesat dan menyesatkan umat Islam. Visi dan misi Hizbut Tahrir tentang terlaksananya syariat Islam secara kaffah hanyalah isapan jempol belaka, karena di balik visi dan misi idealis tersebut Hizbut Tahrir ternyata menyebarkan fatwa-fatwa liberal yang keluar dari syariat Islam yang benar dan lurus.

Wallahu a'lam bishshawab.