Bahtsul Masail Diniyah


Tanggung jawab pengurus organisasi

Ada seorang pengurus sebuah organisasi, yayasan atau lembaga tertentu, kemudian dia menggunakan/meminjam uang itu untuk usahanya sendiri tanpa sepengetahuan pengurus yang lain.

Soal:

  1. Bolehkah cara penggunaan uang tersebut, bagaimana hukumnya?
  2. Bolehkah uang organisasi/kas masjid digunakan untuk simpan pinjam atau usaha yang lain yang hasilnya untuk kepentingan organisasi/masjid tersebut?

Jawab:

Uang yang dimiliki oleh organisasi, yayasan atau lembaga tertentu adalah dimaksudkan untuk membiayai seluruh keperluan dari organisasi, yayasan atau lembaga tersebut, sehingga seluruh pengurus dari organisasi, yayasan atau lembaga tersebut tidak diperkenankan mempergunakan uang milik organisasi, yayasan atau lembaga yang berada di bawah kepengurusannya untuk simpan pinjam atau usaha lain, meskipun hasilnya untuk kepentingan organisasi, yayasan atau lembaga tersebut; lebih-lebih untuk kepentingan pribadi. Sebab penggunaan uang milik organisasi, yayasan atau lembaga diluar kepentingan organisasi, yayasan atau lembaga tersebut adalah berarti pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan oleh organisasi, yayasan atau lembaga tersebut kepada para pengurusnya. Lebih-lebih uang masjid yang pada hakekatnya sudah menjadi milik Allah swt., bukan milik Pengurus atau Ta'mir masjid tersebut; sebab setiap orang yang bersedekah ke masjid tersebut adalah dimaksudkan untuk biaya operasional dari pemeliharaan dan pemakmuran masjid tersebut. Sedangkan mengkhianati amanat itu adalah salah satu tanda munafik.

Dasar Pengambilan:

  1. Sabda Nabi Besar Muhammad saw:
    عَنْ أَبَيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

    Diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: "Tanda orang munafiq itu ada tiga: Apabila dia berkata dia berdusta, jika dia berjanji dia menyalahinya dan jika dia diamanati dia khianat". HR. Bukhari

  2. Kitab Muhadzdzab juz 1 hal. 350:
    وَلاَ يَمْلِكُ الْوَكِيْلُ مِنَ التَّصَرُّفِ اِلاَّ مَا يَقْـتَضِيْهِ اِذْنُ الْمُوَكِّلُ مِنْ جِهَةِ النُّطْقِ اَوْ مِنْ جِهَةِ الْعُرْفِ لأَنَّ تَصَرُّفَهُ بِاْلاِذْنِ فَلاَ يَمْلِكُ اِلاَّ مَا يَقْتَـضِيْهِ اْلاِذْنُ وَاْلاِذْنُ يُعْرَفُ بِالنُّطْقِ وَبِالْعُرْفِ اهـ.

    "Wakil itu tidak memiliki pengelolaan kecuali apa yang ditetapkan oleh idzin dari orang yang mewakilkan melalui ucapan atau melalui adat kebiasaan (pendapat umum), karena mengelolanya dengan idzin, maka ia tidak memiliki pengelolaan kecuali apa yang ditetapkan oleh idzin. Sedangkan idzin itu dapat diketahui dengan ucapan dan berdasarkan pendapat umum adat kebiasaan."