Jama' dan qashar shalat rubaiyah bagi calon musafir
Permasalahan:
Bolehkah men-jama' (taqdim) sekaligus meng-qashar shalat dluhur dan ashar pada waktu dluhur ketika masih di rumah sendiri tetapi siap akan bepergian jauh?
Jawaban:
Menjama' shalat antara dluhur dan ashar, maghrib dan isya', menempuh cara taqdim atau ta'khir pada dasarnya diperkenankan apabila ada hajat (kebutuhan) tertentu. Tidak hanya karena alasan perang, hujan lebat atau menahan rasa sakit. Kebolehan tersebut juga berlaku saat seseorang tidak dalam perjalanan (musafir).
حَكَى الْخَطَّابِيُّ عَنْ اَبِي إِسْحَقَ جَوَازَهُ (الْجَمْعَ) فِيْ الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ وَإِنَ لَمْ يَكُنْ خَوْفٌ وَلاَ مَطَرٌ وَلاَ مَرَضٌ . وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ .
Imam Al-Khaththabi menghikayatkan dari Abu Ishaq akan kebolehan menjamak shalat (di rumah) tidak bepergian karena ada hajat, meskipun tidak ada ketakutan, tidak ada hujan, dan tidak sakit. Ibnu Mundzir telah berpendapat demikian.
Nabi saw pernah men-jama' antara dluhur dan ashar, maghrib dan isya' di Madinah tidak terkait suasana perang atau hujan lebat. Kejadian itu dipahami oleh Abdullah bin Abbas sebagai wujud keinginan beliau untuk tidak mempersulit umatnya.
Sekelompok ahli hadits, kecuali Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa Nabi saw menjamak antara shalat dhuhur dan ashar dan antara shalat maghrib dan isyak tanpa ada ketakutan dan hujan. Dikatakan kepada Ibnu Abbas, "Apa yang beliau kehendaki dengan demikian itu?" Dia menjawab, "Beliau menginginkan agar tidak menyusahkan umatnya".
Shalat dengan jama' taqdim sudah bisa dilakukan oleh orang yang siap bepergian. Sekalipun ia masih berada di kampung tempat tinggalnya. Namun sebaiknya shalat jama' tersebut dilakukan di luar rumahnya, yaitu di masjid atau mushalla terdekat.
Hal ini dimaksudkan agar yang bersangkutan nyata-nyata telah mengawali perjalanannya. Saran menunaikan shalat di luar rumah tempat tinggalnya merujuk pada pertimbangan lokasi Madinah yang sangat spekulatif untuk diartikan sebagai "rumah kediaman Nabi saw". Sebab tradisi beliau yang tidak pernah menunaikan shalat maktubah kecuali dengan berjamaah di masjid yang berada di sebelah barat rumah beliau.
Adapun keinginan meng-qashar shalat rubaiyah, maka peluang mengamalkannya harus telah melintasi tapal batas desa. Karena kemutlakan shalat qashar harus terkait dengan kondisi bepergian (dharbun fi al-ardli) sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 101.
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : وَلاَ أَعْلَمُ اَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَصَرَ فِيْ سَفَرٍ مِنْ أَسْفَارِهِ إِلاَّ بَعْدَ خُرُوْجِهِ مِنَ الْمَدِيْنَةِ .
Ibnu Mundzir berkata, "Saya tidak mengetahui bahwa Nabi saw meng-qashar shalat dalam satu perjalanan dari perjalanan-perjalanan beliau kecuali sesudah beliau keluar dari kota Madinah."
وَيَرَى بَعْضُ السَّلَفِ أَنَّ مَنْ نَوَى السَّفَرَ يَقْصُرُ وَلَوْ فِيْ بَيْتِهِ
Anas bin Malik berkata, "Saya shalat dhuhur beserta Nabi saw di Madinah empat rakaat dan di Dzul Hulaifah dua rakaat." Hadits riwayat sekelompok ahli hadits.
[اَخْرَجَهُ اَبُوْ دَاوُدَ]
Imran bin Hushain berkata, "Saya menyaksikan pembebasan kota Makkah bersama Rasulullah saw; maka beliau tidak shalat kecuali dua rakaat, kemudian beliau bersabda kepada penduduk Makkah, "Shalatlah kalian empat rakaat. Saya musafir." Hadits riwayat Abu Dawud.