Bahtsul Masail Diniyah


Edit

Rekonsiliasi sebagai alternatif solusi atas masalah berskala nasional

Usulan dari tema penyelenggaraan Muktamar I PKB di Surabaya

Tindak kekerasan berupa pembunuhan (bukan sebagai eksekusi dari putusan peradilan pidana), pemenjaraan, penculikan aktivis, intimidasi sampai melucuti hak-hak keperdataan dan hak-hak kewarganegaraan yang dilindungi UUD/UU, merupakan praktek lama dari tindak kesewenang-wenangan pemerintah dan golongan berkuasa pada masa lalu. Dalih security (demi penciptaan stabilitas nasional), kedaulatan kekuasaan dan setara itu telah menghalalkan segala macasm cara betapa harus mengorbankan citra tegaknya kedaulatan hukum serta menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM).

Upaya penyelesaian kasus tindak kebijakan politik dan pelanggaran HAM menempuh jalur hukum (lewat lembaga peradilan) akan terbentur proses pembuktian hukum yang lama, lantaran fakta dan pelaku sudah bergeser oleh waktu dan bisa mengarah pada pelampoiasan balas dendam. Skala kasus kejahatan politik dan pelanggaran HAM bersifat nasional, melinatkan sejumlah besar aparat penguasa negara dan golongan yang berkuasa serta seringkali terkondisikan atas perintah atasan.

Belajar dari pengalaman negara lain, misalnya Afrika Selatan oleh presiden Nelson Mandela, El Salvador Amerika pada tahun 1991 atas inisiatif PBB, Argentina pasca rezim Jorge Rafael Videla, Bolivia oleh Presiden Hernan Ailes Zuazo, Korea Selatan oleh Presiden Kim Dae-Jung lewat amnestinya. Rupanya muncul agar instrumen "rekonsiliasi" negara-negara tersebut diatas dicontoh sebagai alternatif solusi bagi penyelesaian kejahatan politik dan pelanggaran HAM di Indonesia.

Warna dasar rekonsiliasi itu sarat muatan penyelesaian politis, namun di sana teramati unsur materiil, yaitu: pemberian maaf (amnesti oleh presiden), penghentian pengusutan perkara demi kepentingan umum, pembebasan hukuman pidana dan kebijaksanaan hukum yang lain. Apabila kejahatan (tindak pidana) dan pelanggaran HAM itu murni politis dan tergolong "Jarimah al-bughat" kiranya tepat bila ditangani langsung oleh Waliyyu al-amri. Tetapi bila pelaku tindak kesewenang-wenangan dan pelanggaran HAM itu justru penguasa/pemerintah/golongan yang berkuasa, maka pemegang otoritas penuntutan ada pada keluarga korban sebagai"Waliyyud-dam". Dalam hal ini pemerintah sekarang atau lembaga rekonsiliasi yang dibentuk lewat UU tidak boleh melakukan intervensi.

Pertanyaan

  1. Adakah petunjuk syari'at Islam yang mengatur penyelenggaraan rekonsiliasi sebagai alternatif solusi atas kasus kejahatan politik oleh penguasa dan pelanggaran HAM?
  2. Sejauh mana pemerintah (Waliyyul-amri) harus bertindak dan menyikapi pelaku (mantan pejabat negara) sehubungan tindak kejahatan bertendensi politis dan karena kekuasaan serta berbagai kasus pelanggaran HAM?
  3. Masih adakah kewenangan tersisa bagi keluarga korban selaku Waliyyud-dam dalam menuntut (menggugat) pidana perlakuan sewenang-wenang aparat yang berbuat sesuatu karena melaksanakan tugas atas perintah atasan?

Jawab

Dipending



Dikelola oleh Nun Media