Kolom Gus


Edit

Pentingnya Memberi Contoh Kepatuhan Pada Ummat

Di majalah Aula PWNU Jawa Timur dulu, entah edisi berapa, terdapat artikel ringan yang bersifat guyonan tentang awal penerapan wajib helm. KH. Hasyim Muzadi bercerita bahwa abah KH. Masduqi Machfudz adalah profil kyai yang disiplin. Termasuk saat banyak orang masih enggan berhelm, Kyai Masduqi orang yang sangat patuh selalu menggunakan helm. dan untuk tetap menjaga agar dapat kesunnahan berimamah, setelah menggunakan helm, helmnya di-imamahi. Wallahu a'lam itu cerita benar atau tidak, karena memang KH Hasyim sering gojlokan dengan abah KH Masduqi dan abah sering kali menasihati,

"Nek awakmu jik nglanggar lampu merah berarti imanmu durung jangkep."

"Apabila engkau masih suka melanggar isyarat lampu lalu lintas, berarti imanmu belum lengkap."

Cerita kecil ini mungkin bisa jadi contoh. Bukan yang menggunakan imamah setelah berhelm, tetapi #menjaga_kepatuhan_pada_aturan_pemerintah_selama_tidak_melanggar_syariat adalah keharusan yang seharusnya kita saling memberi contoh.

Tidak berhelm dan sungkannya polisi mencegat pelanggaran yang kita lakukan karena kita ustadz atau gus atau kyai bukanlah hal keren. Tetapi bagian dari contoh yang kurang pas dan "kebanggaan" yang harusnya malu kita lakukan. Karena siapapun kita adalah contoh bagi orang lain.

Seperti dalam menghadapi wabah Covid-19. Sia-sia belaka aturan yang dibuat oleh pemerintah dan segala upaya tenaga medis, bila pemahaman keagamaan kita, kita paksakan diikuti oleh orang lain dengan cara kita memberi contoh yang kurang baik.

Seperti Abu Ubaidah atau Muad Ibn Jabal yang menganggap wabah adalah rahmat dan bahkan meminta bagian dari rahmat itu dan bertawakkal pada Allah. Tetapi pantaskah bila kita memaksakan keyakinan itu kepada semua orang? Sementara ada Amr Ibn Ash yang mengajak mengungsi dari wabah?

"Nek malaikat tekdire ora nyabut nyowo pas wabah korona, apa ya dia akan mati karena korona?"

"Apabila malaikat ditakdirkan tidak mencabut nyawa seseorang pada saat wabah Corona, apakah dia akan mati karena Corona?"

Tentu jawabnya tidak. Tapi masalahnya kita tidak tahu takdir kita atau orang-orang sekitar kita. Seperti halnya saat Nabi menyatakan kita melakukan segala sesuatu atas dasar apa yang sudah tercatat di lauh mahfudz. Ada shahabat yang bertanya,

"Kalau begitu ngapain kita beramal ya, Rasul. Tinggal tunggu saja masuk neraka atau surga?"

Nabi menjawab,

"Beramallah, karena kamu nda tahu takdirmu. Semua akan dimudahkan menuju kemana dia ditakdirkan nanti."

Perintah beramal terus meski nasib kita berdasar takdir yang sudah dicatat di lauh mahfudz, seharusnya kita pahami bersama bahwa juga ada perintah ihtiyar disamping tawakkal. Kalaupun memilih tawakkal saja sesuai apa yang dikehendaki Allah. Minimal kita berupaya menghormati mereka yang masih memilih ikhtiar dengan cara kita mentaati aturan pemerintah saat kita berada di ruang publik terlebih bila kita adalah figur publik. Betapa penting menjaga prinsip dengan bijak, untuk memberi teladan pada umat kecuali bila kita hanya figuran kehidupan yang hidup di tengah hutan, kita tidak perlu memikirkan umat atau kepentingan masyarakat.

اللهم انك عفو كريم تحب العفو فاعف عنا يا كريم، اللهم اكتبنا ممن ادركته ليلة القدر ، اللهم اجعل رمضان شاهدا لنا لا علينا واجعلنا ممن غفرت لهم ما تقدم من ذنوبهم واجعلنا من الفائزين، اللهم إكشف عنا ما نزل بنا من البلآء والوبآء والغلآء والسيوف المختلفة والفتن ما ظهر منها وما بطن من بلدنا إندونيسيا خاصة ومن بلاد العالم عامة يا ارحم الراحمين


Dikelola oleh Nun Media