Bahtsul Masail Diniyah


Edit

Wali tidak salat dan tidak menyentuh gawang

Saya seorang desa yang ada di pegunungan heran pada beberapa cerita tentang Kyai Mas atau Kyai Zaid (nama samaran) yang katanya wali tapi tidak shalat dan suka mengawini istri orang. Yang kami tanyakan adalah:

  1. Apakah ada hukum yang mengatur tentang orang islam boleh tidak salat sebagaimana cerita di atas
  2. Bagaimana hukumnya mengambil istri orang lain sebagai mana cerita di atas?
  3. Bagaimana hukumnya memasukan hasyafah ke dalam farji mar'ah ajnabiyah sedang farji tersebut tidak seperti biasanya (besar berjari-jari ukuran kurang lebih 3 cm,maaf) hasyafah masuk kedalam farji tersebut tetapi tidak menyentuh pinggirnya farji dan tidak injal, yang kami tanyakan:
    1. Apakah perbuatan tersebut masih dikatakan zina?
    2. Apakah tetap mandi besar bila mau salat dll?

Jawaban:

  1. Tidak ada hukum yang mengatur tentang orang Islam boleh tidak salat.
  2. Hukumnya mengambil istri orang lain adalah dilarang dalam agama Islam.

    Alasannya silakan baca keterangan dari Kitab Kifayatul Atqiya' halaman 12 tersebut di bawah ini:

    وَكَذَاالَطَّرِيْقَةُوَالْحَقِيْقَةُ يَااَخِيْ. مِنْغَيْرِ فِعْلِ شَرِيْعَةٍ لَنْ تَحْصُلاَ هَذَا نَتِيْجَةٌ مَا قَبْلَهُ اَيْضًا. وَالْمَعْنَى اَنَّ الَطَّرِيْقَةَ وَالْحَقِيْقَةَ كِلاَهُمَامُتَوَقِّفٌ عَلَى الَشَّرِيْعَةِ فَلاَ يَسْتَقِيْمَانِ وَلاَيَحْصُلاَنِ اِلاَّبِهَا. فَالْمُؤْمِنُ واِنْ عَلَتْ دَرَجَتُهُ وَارْتَفَعَتْ مَنْ زِلَتُهُ وَصَارَمِنْ جُمْلَةِ اْلا وْلِيَاءِ لاَتَسْقُطُ عَنْهُ العِبَاداَت المَفْرُوْضَةُ فِي القُرْآنِ وَالسُّنَّةِ. وَمَنْ زَعَمَ اَنَّ مَنْ صَارَ وَلِيًّا وَوَصَلَ اِلَى الحَقِيْقَةِ سَقَطَتْ عَنْهُ الَِشَّرِيْعةُ فَهُوَ ضَالٌّ مُضِلٌّ مُلْحِدٌ. وَلَمْ تَسْقُطُا العِبَادَاتٌ عَنِ الأَنْبِيَاءِ فَضْلاً عَنِ الاَوْلِيَاءِ. فَ قَدْصَحَّ اَنَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم َكَانَ يُصَلِّي حَتَّى تَتَوَّرَمَ قَدَمَاهُ فَقِيْلَ لَهُ مَرَّةً: اَلَمْ يَغْفِرِاللهُ لَكَ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِك وَمَ تَاَْخَّرَ فَقَالَ:اَفَلاَ اَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا؟ وَذَلِكَ لأِنَّ العِبَادةَ وُجُوْبُهَابِحَقِّ العُبُوْدِيَّةِ وَلِشُكْرِالنَِّعْمَة. الَولِيُّ بِلْوَلاَيَةِ لاَيَخْرُجُ عَنْ حَدِالعُبُوْدِيَّة وَلاَعَنْ كَوْنِهِ مُنْعَمًاعَلَيْهِ.

    Demikin toriqoh dan hakikat wahai saudaraku, tanpa melakukan syariat keduanya tidak akan berhasil!

    Ini adalah hasil dari penjelasan sebelumnya juga! Artinya,toriqoh dan hakikat keduanya terhenti pada syari'at, Keduanya tidak dapat tegak dan berhasil kecuali dengan syari'at. Sehingga seorang mukmin itu meskipun tinggi derajatnya dan luhur kedudukanya dan menjadi salah seorang wali Allah swt,maka tidak dapat gugur darinya dirinya ibadah -ibadah yang telah diwajibkan/difardlukan dalam Alqur'an dan Assunah.Barang siapa yang mengaku(mendakwakan) bahwa sesungguhnya orang yang telah menjadi wali dan telah sampai padsa tingkat hakikat,maka dapat gugur dirinya dari menjalankan syari'at,maka dia adalah orang yang sesat,lagi menyesatkan orang lain lagi kafir.

    Ibadah-ibadah itu tidak dapat gugur kewajiban menjalankanya dari para nabi, apalagi dari para wali. Sesungguhnya rasul Allah swt telah melakukan salat sehingga bengkak kedua kaki beliau, sehingga pada suatu ketika di katakan kepada beliau: Tidakah Allah telah mengampunkan bagi tuan apa yang telah lalu dari dosa tuan dan apa yang terkemudian? Beliau menjawab: Apakah aku tidak dapat menjadi hamba yang bersyukur? yang demikian itu ialah karena ibadah itu kewajiban menjalankanya adalah untuk memenuhi hak untuk menghambakan diri kepada Allah dan untuk memenuhi hak untuk mensyukuri keni'matan dari Allah. Sedangkan Wali itu dengan kewalianya tidak dapat keluar dari batas menghambakan diri dan dari keadaanya sebagai orang yang diberi nikmat.

  3. Perbuatan memasukan hasyafah kedalam ke dalam ruang jima' dari farji wanita ajnabiyah hukumnya tetap zina, sebab yang dinamakan jima' itu tidak harus menyentuhkan hasyafah ke pinggir farji.
  4. Tetap kewajiban mandi besar,sebab salah satu dari hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi besar itu ialah memasukan hasyafah ke dalam liang jima'dari farji, meskipun tidak inzal.

    Dalam Kitab Khulasatul Kalam Fi Arkani Islam halaman 43,(dan juga dalam kitab -kitab fiqih lainya) di sebutkan sebagai berikut:

    اِلْتِقَاءُالخِتَانَيْنِ. عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَ جَلَسَ(الرَّجُلُ) بَيْنَ شُعَبِيْهَا الاَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ. مَعْنَ الْحَدِيْثِ. اِنَّ اِيْجَابَ الغُسْلِ لاَيَتَوَقَّفُ عَلَى اِنْزَالِ اْلمَنِيِّ؟ بَلْ مَتَى غَالَبَتِ الحَسَفَةُ فِى الْفَرْجِ، وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَى الْمَرْأَةِ وَالَّرجُلِ. وَمَعْنَ مَسِّ الخِتَانِ: ذُخُوْلُ رَأْسِ فِى فَرْجِهَا. وَلَيْسَ مُرَادُ حَقِيْقَةِ المَسِّ. وَذَالِكَ اَنَّ خِتَانَ الْمَرْأَةِ فِى اَعْلَى الْفَرْجِ وَلاَ يَمُسُّهُ الذَّكَرُ فِى الْجِمَاعِ. وَقَدْ اَجْمَعُوْا عَلَى اَنَّهُ لَوْ وَضَعَ ذَكَرُعَلَى حِتَانِهَا وَلَمْ يُوْلِجْهُ لاَيضجِيْبُ الْغُسْلُ لاَعَلَيْهِ َلاَعَلَيْهَا. وَالْمُرَادُ بِالْمُمَاسَةِ الْمُحَادَاةُ. وَكَذَا اِذَالْتَقَى الْحِتَانَانِ: اي تَحَاذ َيَا.

    Telah diriwayatkan dari Abu Hurairoh. Dari Nabi saw,beliau telah bersabda: Apabila seorang (laki-laki) telah duduk diantara kedua kaki dan kedua tangan isterinya yang empat (jumlah kedua tangan dan kedua kaki) kemudian laki-laki itu telah membebani istrinya, maka benar-benar wajib mandi.(HR Bukhori)

    Pengertian dari hadist tersebut adalah bahwa sesungguhnya yang mewajibkan mandi itu tidak terhenti pada keluarnya air mani. Akan tetapi manakala hasyafah telah itu telah masuk kedalam farji, maka wajib mandi atas wanita dan laki-laki. Dan pengertian dari menyentuh khitan itu adalah memasukan kepala dzakar ke dalam farji wanita.Dan bukanlah menyentuh disini bukanlah menyentuh yang sesungguhnya; karena sesungguhnya khitan wanita itu sebenarnya ada di sebelah (bagian) atas dari farjinya yang tidak disentuh oleh dzakar pada waktu jima'

    Para ulama' telah bersepakat (berijma') bahwa seandainya ada seorang laki-laki meletakan dzakarnya di atas khitan wanita (clitorus) dan tidak memasukan dzakarnya ke dalam liang jima', maka tidak wajib mandi atasnya dan juga tidak atas wanita (jika air maninya tidak keluar) jadi yang dimaksud menyentuh adalah menempati (manceri); dan demikian pula pertemuan dua khitan, yang dimaksud keduanya adalah manceri. ang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Sahabat Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

    اَيَزْنِي لزَّانِى ِيْنَ َزْنِى َهُوَ ُؤْمِنٌ َلاَ َشْرَبُ لخَمْرَ ِيْنَ َشْرَبُهَا َهُوَ ُؤْمِنٌ َلاَ َسْرِقُ لسَّارِقُ ِيْنَ َسْرِقُ َهُوَ ُؤْمِنٌ..

    Tidak berzina seseorang yang akan berzina, (bila) dia dalam keadaan mukmin. Tidaklah orang meminum arak pada waktu dia akan meminumnya (bila) dia dalam keadaan mukmin. Tidaklah mencuri seorang pencuri pada saat dia akan mencuri, (bila) dia dalam keadaan mukmin.

    Jadi orang yang sedang meminum arak itu bukanlah orang mukmin. Artinya imannya sedang melayang. Setelah selesai minum arak. Kemungkinan imannya kembali lagi dan kemungkinan juga bisa terus lenyap selamanya. Oleh karena itulah kita dilarang memberi salam kepada orang yang sedang meminum minuman keras. Sedang pemabuk yang menganggap halal atau menghalalkan minuman arak, sudah jelas tidak usah dikunjungi sewaktu sakit dan tidak pula boleh disalati kalau mati. Karena dia telah menjadi orang murtad sebagaimana keterangan kami diatas.

    Dengan demikian, menurut hemat kami, selaku orang yang sangat daif dalam ilmu agama ini, jika hadist ketiga yang saudara kemukakan itu perawinya dapat dipertanggung jawabkan, maka ketiga hadist tersebut sama-sama dapat dipakai sebagai dalil dalam kondisi, situasi dan kasus tertentu.