Artikel Keislaman


Edit

Merenungi Ampunan di Balik Kesulitan: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 117-118 dalam Cahaya Istighfar

Ringkasan Kajian Softwat Tafasir Bersama Habib Husein Ibn Alwy Bin Agil Pada Ahad, 4 Mei 2025

Ayat 117 dan 118 dari Surah At-Taubah menghadirkan lukisan agung tentang rahmat dan kasih sayang Allah Swt., terutama dalam konteks kesulitan dan ujian yang dihadapi oleh kaum Muslimin di masa Rasulullah Saw. Lebih dari sekadar catatan sejarah, ayat ini menyimpan pelajaran mendalam tentang kekuatan taubat dan istighfar, sebagaimana yang senantiasa ditekankan dalam kajian-kajian hikmah, termasuk yang disampaikan oleh Habib Husein Ibn Alwy Ibn Agil.

Allah Swt. berfirman:

لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌۙ ۝١١٧
Sungguh, Allah benar-benar telah menerima tobat Nabi serta orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar yang mengikutinya pada masa-masa sulit setelah hati sekelompok dari mereka hampir berpaling (namun) kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. (QS. At-Taubah [9]: 117)

Ayat ini mengisahkan tentang Perang Tabuk, sebuah ujian berat yang dihadapi kaum Muslimin. Habib Husein Ibn Alwy Ibn Agil mengingatkan kita bahwa peperangan ini dinamakan pula ghazwah waqtal usrah, perang di masa sulit. Bagaimana tidak? Jarak tempuh yang mencapai 700-800 kilometer, harus ditempuh dengan berjalan kaki di tengah terik matahari dan bekal yang minim, tentu menguras fisik dan mental. Bahkan, digambarkan sebagian sahabat merasa bahwa inilah akhir dari kehidupan mereka.

Dalam kondisi yang sedemikian sulit, wajar jika gejolak keraguan sempat menghampiri sebagian sahabat mengenai kebenaran risalah Islam. Namun, Allah dengan kemurahan-Nya menerima taubat mereka. Ungkapan

"ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ"
kemudian Allah menerima tobat mereka

Menunjukkan betapa Allah Maha Lembut dan senantiasa membuka pintu ampunan bagi hamba-Nya yang kembali.

Kisah menarik tentang seorang sahabat yang menyembelih untanya dan meminum sisa air kencingnya karena dahaga yang luar biasa, serta doa Rasulullah Saw. yang kemudian menurunkan hujan hanya di tengah barisan kaum Muslimin, menjadi bukti nyata pertolongan Allah di tengah kesulitan. Namun, di balik pertolongan itu, tersirat pula pelajaran tentang pentingnya kembali kepada Allah dalam setiap keadaan, terutama saat gundah dan ragu.

Kemudian, Allah melanjutkan firman-Nya pada ayat berikutnya:

وَّعَلَى الثَّلٰثَةِ الَّذِيْنَ خُلِّفُوْاۗ حَتّٰٓى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوْٓا اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِۗ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوْبُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُࣖ ۝١١٨
Terhadap tiga orang yang ditinggalkan (dan ditangguhkan penerimaan tobatnya) hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun (terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja, kemudian (setelah itu semua) Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah [9]: 118)

Ayat ini mengisahkan tiga sahabat, Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Mirarah bin Rabi'ah, yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk tanpa alasan yang dibenarkan. Mereka mendapatkan hukuman sosial yang berat, bahkan Rasulullah Saw. melarang para sahabat untuk bertegur sapa dengan mereka. Dampaknya sungguh dahsyat,

"حَتّٰى اِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْاَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ"
(hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas),

dan

"وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ اَنْفُسُهُمْ"
(dan jiwa mereka pun terasa sempit bagi mereka).

Bahkan istri-istri mereka pun menjauhi mereka.

Dalam kesempitan jiwa dan keterasingan sosial itu, mereka menyadari

"اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِ"
(bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja).

Pengakuan ini adalah puncak dari kesadaran akan kelemahan diri di hadapan kebesaran Allah. Di sinilah letak kekuatan taubat yang sesungguhnya, yaitu kembali sepenuhnya kepada Allah dengan penyesalan yang mendalam.

Habib Husein Ibn Alwy Ibn Agil melalui kajiannya mengingatkan kita beberapa poin penting yang terangkum dari ayat-ayat ini dan prinsip-prinsip agama:

  • Allah tidak akan mengazab suatu kaum yang Rasul ada di tengah-tengah mereka, dan tidak akan pernah mengazab kaum selama masyarakat itu gemar beristighfar kepada Allah. Ini adalah janji Allah yang memberikan ketenangan hati bagi umat Islam. Kehadiran Rasulullah Saw. adalah rahmat yang besar, dan istighfar adalah perisai yang melindungi dari murka-Nya.
  • Istighfar adalah penangkal yang menghindarkan seseorang dari apa yang tidak disukainya. Dengan memperbanyak istighfar, kita memohon perlindungan Allah dari segala keburukan dan kesulitan.
  • Kesumpekan muncul karena banyak dosa, karenanya hilangkan kesumpegan dengan istighfar. Dosa bagaikan noda yang menggelapkan hati dan pikiran. Istighfar adalah air jernih yang membersihkannya, membawa ketenangan dan kelapangan.
  • Taubat dan istighfar itu tujuan utamanya adalah mendapatkan kecintaan Allah. Bahkan Rasulullah Saw. yang ma'shum (terjaga dari dosa) pun senantiasa beristighfar, sebagai bentuk penghambaan dan kerinduan akan cinta Allah.
  • Kisah Perang Tabuk dan tiga sahabat yang tertinggal menunjukkan bahwa ujian dan kesulitan bisa menjadi jalan untuk kembali dan mendekat kepada Allah. Dalam kondisi terdesak, hati manusia cenderung lebih jujur dan mengakui kelemahannya di hadapan Sang Khalik.
  • Allah adalah At-Tawwab (Maha Penerima Tobat) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Betapa pun besar dosa seorang hamba, pintu ampunan Allah senantiasa terbuka lebar selama ia mau bertaubat dan beristighfar dengan sungguh-sungguh. Bahkan, Allah menerima taubat ketiga sahabat tersebut
    "لِيَتُوْبُوْا"

    (agar mereka tetap dalam tobatnya),
    menunjukkan bahwa Allah membimbing hamba-Nya untuk terus berada di jalan kebaikan.
  • Pengakuan
    "اَنْ لَّا مَلْجَاَ مِنَ اللّٰهِ اِلَّآ اِلَيْهِ"

    (bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah melainkan kepada-Nya saja)
    adalah esensi dari taubat yang diterima. Kesadaran penuh akan ketergantungan kepada Allah dan tidak adanya tempat berlindung selain kepada-Nya adalah kunci pembuka rahmat dan ampunan-Nya.

Melalui tafsir ayat-ayat ini dan pencerahan dari Habib Husein Ibn Alwy Ibn Agil, kita diajak untuk merenungi betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Di balik setiap kesulitan, selalu ada ruang untuk kembali, untuk bertaubat, dan untuk memohon ampunan-Nya melalui istighfar. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang gemar beristighfar dan meraih cinta serta ampunan Allah Swt. di setiap langkah kehidupan kita.

Penulis:
Achmad Shampton Masduqi



Dikelola oleh Nun Media