Artikel Keislaman


Edit

Ilmu: Cahaya Ilahi dalam Perjalanan Insan

Seusai ngaji Shofwatut Tafasir ke Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqil di Nurul Huda Mergosono, saya melirik tumpukan kitab saya yang lama tidak saya sentuh, Umdatul Muhtaj Ila Sarhil Minhaj. Kitab dengan 16 jilid ini saya kemasi saya bawa ke Dzinnuha. Diperjalanan saya menyempatkan mutholaah halaman 283 juz 1 yang masih membahas muqadimah dari kitab Minhaj. Inilah sedikit catatan dari apa yang saya baca itu:

Dalam tradisi intelektual Islam, ilmu menempati posisi yang sangat istimewa. Ia bukan sekadar akumulasi data atau informasi, melainkan sebuah perjalanan spiritual, sebuah upaya untuk meraih nurullah, cahaya Ilahi yang menerangi jalan kehidupan. Sebagaimana ditegaskan dalam teks klasik,

"Sesungguhnya kesibukan dengan ilmu adalah sebaik-baik ketaatan dan perkara yang paling layak untuk diinvestasikan waktu-waktu yang berharga."

Sebuah penegasan yang menggarisbawahi urgensi ilmu sebagai instrumen transformasi diri dan masyarakat.

Dalam konteks ini, ilmu yang dimaksud melampaui sekadar pengetahuan empiris atau sains dalam pengertian modern. Ia mencakup pemahaman mendalam tentang fiqh (hukum Islam), ushul (prinsip-prinsip dasar), dan furu' (cabang-cabang) agama, serta pengetahuan tentang Allah SWT dan segala sesuatu yang wajib dan disyariatkan bagi seorang hamba. Ilmu, dalam paradigma ini, adalah wahana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sebuah jalan untuk menggapai ma'rifatullah (pengetahuan tentang Allah).

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam beberapa ayat Al-Qur'an:

… قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِى ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
Az-Zumar: 9: "Katakanlah, 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran."
وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ مُخۡتَلِفٌ أَلۡوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Fathir: 28: "Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّ ۗ وَلَا تَعۡجَلۡ بِٱلۡقُرۡءَانِ مِن قَبۡلِ أَن يُقۡضَىٰٓ إِلَيۡكَ وَحۡيُهُۥ ۖ وَقُل رَّبِّ زِدۡنِى عِلۡمًا
Thaha: 114: "Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur'an sebelum disempurnakan pewahyuannya kepadamu, dan katakanlah: 'Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.'"
… يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٌ
Al-Mujadilah: 11: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Ayat-ayat ini mengindikasikan bahwa ilmu, dalam pengertian yang luas, adalah jalan menuju ketakwaan, kebijaksanaan, dan derajat yang tinggi di sisi Allah. Ia bukan sekadar informasi yang tersimpan di dalam otak, tetapi cahaya yang menerangi hati dan memandu tindakan.

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

لاحسد الا فى اثنين : رجل اتاه الله مالا فسلطه على هلكته في الحق ورجل اتاه الله الحكمة فهو يقضى بها ويعلمها

"Tidak ada hasad (iri) kecuali dalam dua perkara: (pertama) seorang laki-laki yang Allah berikan harta lalu ia gunakan untuk kebenaran, dan (kedua) seorang laki-laki yang Allah berikan hikmah lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya."

Hadis ini menggarisbawahi bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diimplementasikan dalam kehidupan, yang menjadi sumber kebijaksanaan dan keadilan. Ilmu yang demikianlah yang layak untuk dicemburui, bukan ilmu yang sekadar menjadi hiasan intelektual.

Sheikh Ali Jumah menekankan bahwa ilmu yang dimaksud adalah nurullah, cahaya Allah. Ilmu yang demikian bukan hanya sekadar science atau pengetahuan, tetapi ilmu yang membawa pada kedekatan dengan Allah. Ilmu yang menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan, dan ilmu yang mengantarkan pada pemahaman yang mendalam tentang hakikat keberadaan. Dalam konteks ini, ilmu menjadi instrumen untuk meraih ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya.

Dalam paradigma ini, ilmu bukan sekadar akumulasi informasi, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang transformatif. Ia adalah cahaya yang menerangi hati, memandu tindakan, dan mengantarkan pada kedekatan dengan Sang Pencipta. Ilmu yang demikianlah yang layak untuk dikejar dan diinvestasikan waktu-waktu yang berharga.

Penulis:
Achmad Shampton Masduqi