Artikel Keislaman


Edit

Luasnya Makna Jihad dan Pentingnya Niat dalam Islam

Kajian Tafsir bersama Habib Husein ibn Alwy Binagil Pada 11 Mei 2025 Bagian Pertama

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ ۝١١٩

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar! Ayat ini termasuk ayat Madaniyah karena diawali dengan kalimat يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا, yang merupakan ciri khas ayat-ayat Madaniyah.

Perintah Allah kepada orang-orang beriman, khususnya penduduk Madinah, untuk bertakwa. Salah satu tafsir dari kalimat "at-taqwa" sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam sabdanya, "Attaqwa Haahuna" (takwa itu di sini), yaitu di dalam hati. Oleh karena itu, di mana pun seorang muslim berada, ketakwaan hendaknya selalu mengontrol tindak-tanduk dan perilakunya.

Jadi, takwa itu tidak hanya di masjid. Jangan sampai ketika berada di masjid, seseorang menjadi yang paling bertakwa, tetapi ketika bekerja sesuai profesinya, misalnya sebagai pedagang di pasar, ia berubah menjadi pribadi yang lain, melakukan sumpah palsu atau mencurangi timbangan. Orang seperti ini belum memiliki komitmen terhadap takwa. Kalimat اتَّقُوا اللّٰهَ bermakna "raqibu Allah" (awasilah Allah) atau lebih tepatnya, Allah mengawasi diri kalian. Hendaknya setiap individu menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasinya.

Karena diawasi oleh Allah, maka hendaknya seseorang berhati-hati dan menjaga baik tutur kata maupun perbuatannya agar selaras dengan nilai-nilai kehidupan yang diridai Allah. Awasilah Allah dalam seluruh perkataan dan perbuatanmu, yang berarti Allah senantiasa mengawasimu dalam ucapan dan tindakanmu.

وكونوا مع الصادقين (dan tetaplah bersama orang-orang yang benar), yaitu orang-orang yang ahli dalam kejujuran (ahli sidqi). Secara bahasa, ahli sidqi berarti setiap orang yang memiliki kejujuran. Namun, menurut definisi ahli tasawuf, ahli sidqi adalah orang-orang yang telah mencapai puncak keimanan, dan inilah yang kemudian dijelaskan oleh Imam Ali Bin Abi Thalib dalam menafsirkan maqam sidqi. Beliau berkata:

لَوْ رُفِعَ عَنِّي الْحِجَابُ مَا ازْدَدْتُ يَقِينًا

"Andaikan Allah menyingkap tabir penghalang sehingga aku melihat segala sesuatu dari alam gaib secara kasat mata, surga dan neraka secara kasat mata, hal itu tidak akan menambah keyakinanku kepada Allah."

Karena keyakinan Imam Ali telah mencapai puncaknya. Inilah makna dari ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm (tunjukilah kami jalan yang lurus) yang kita baca dalam 17 rakaat setiap hari. Sirotol mustaqim itu ditafsirkan oleh Al-Qur'an sendiri, yaitu ṣirāṭal-lażīna an'amta 'alaihim (jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat), yaitu para nabi, siddiqin, syuhada, dan shalihin. Ternyata, "an'amta 'alaihim" adalah kelompok tertinggi dari umat manusia, dan untuk mencapai kelompok ini tidak mungkin diupayakan atau diusahakan. Jadi, jika ada orang yang mengaji setiap hari dan shalat seribu rakaat atau melakukan amal lain dengan tujuan menjadi nabi, hal itu tidak akan pernah terjadi.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Jauhar Tauhid:

وَلَمْ تَكُنْ نُبُوَّةٌ مُكْتَسَبَةً * وَلَوْ رَقَى فِي الْخَيْرِ أَعْلَى عُقُبِه

Derajat nabi tidak dapat diupayakan, meskipun seseorang berusaha melakukan kebaikan setinggi-tingginya. Karena kenabian bukanlah sesuatu yang muktasabah (diusahakan), melainkan murni anugerah dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Jika Allah berkehendak, Dia dapat melakukannya. Contohnya adalah Nabi Harun Alaihissalam yang menjadi nabi setelah Nabi Musa Shallallahu Alaihi Wasallam meminta kepada Allah agar saudaranya itu juga diangkat sebagai rasul karena Nabi Musa memiliki kekurangan dalam kefasihan berbicara. Lidah Nabi Musa agak cadel karena peristiwa masa kecilnya ketika diangkat oleh Firaun. Saat itu, ia menarik janggut Firaun hingga Firaun kesakitan dan menganggapnya sebagai calon musuh yang harus dibunuh. Namun, Allah menyelamatkan Nabi Musa melalui istri Firaun yang mengatakan bahwa anak kecil tidak tahu apa-apa dan pasti akan memilih bara api jika dihadapkan dengan kurma. Firaun ingin menguji kebenaran perkataan istrinya dan membiarkan Nabi Musa memilih antara bara api dan kurma. Karena Nabi Musa adalah calon nabi yang memiliki kecerdasan sejak bayi (fathonah), ia akan mengambil kurma, tetapi malaikat mengarahkannya untuk mengambil bara api demi keselamatannya. Bara api yang dimasukkan ke mulut kecil Nabi Musa menyebabkan lidahnya menjadi cadel permanen. Ketika Nabi Musa diangkat sebagai rasul dan nabi oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, ia meminta agar Nabi Harun saudaranya juga diangkat sebagai pembantu dan dikabulkan oleh Allah, meskipun kapasitas mereka mungkin berbeda.

Demikian pula dengan saudara-saudara Yusuf. Meskipun mereka pernah merencanakan kejahatan, pada akhirnya mereka diangkat oleh Allah sebagai nabi. Jika Allah berkehendak, seseorang yang pernah berbuat jahat pun bisa menjadi nabi. Tetapi, jika seseorang shalat lalu berkata, "Aku ingin menjadi nabi," hal itu tidak akan terjadi karena kenabian bukanlah sesuatu yang dapat diupayakan. Meskipun seseorang berusaha melakukan kebaikan setinggi-tingginya, ia tidak akan pernah menjadi nabi.

Para siddiqin, seperti Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar, Sayidina Utsman, Sayidina Ali, dan sahabat lainnya, sebagian di antaranya telah diberikan kabar gembira tentang surga oleh Rasulullah. Ternyata, orang-orang yang dijamin masuk surga tidak terbatas pada sepuluh orang yang masyhur itu, karena mereka disebutkan bersamaan. Ada sahabat lain yang juga diberi kabar gembira tentang surga oleh Rasulullah, salah satunya adalah seorang Arab Badui yang datang kepada Rasulullah dan bertanya tentang Islam. Rasulullah menjawab, "Lakukanlah shalat lima waktu, puasa sebulan dalam setahun, dan zakat jika mampu." Orang itu berkata, "Aku akan melakukannya dan tidak akan menambah atau mengurangi sedikit pun." Rasulullah bersabda setelah orang itu pergi, "Jika dia memegang komitmennya, pasti dia akan masuk surga," atau dalam riwayat lain, "Jika kalian ingin melihat calon penghuni surga, lihatlah orang ini." Ternyata, orang ini adalah salah satu yang menegaskan akan melakukan shalat wajib saja, puasa wajib saja, dan zakat wajib saja, dan Rasulullah bersabda, "Inilah calon tetap penghuni surga." Hal seperti ini banyak dilakukan oleh Rasulullah.

Kesimpulannya, orang-orang yang diberi kabar gembira tentang surga (mubasyar bin Jannah) tidak terbatas pada sepuluh orang. Bahkan, Sayidina Ukkasyah Ibn Mihsan, yang doanya kemudian terkenal di masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya.

Ketika Rasulullah menyebutkan tentang 70 ribu umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan dengan syafaat, Ukkasyah berkata, "Ya Rasulullah, jadikanlah aku termasuk di antara mereka." Rasulullah menjawab, "Engkau termasuk di antara mereka." Orang lain meniru Ukkasyah, tetapi Rasulullah bersabda, "Ukkasyah telah mendahului kalian." Jadi, orang-orang yang dijamin masuk surga tidak terbatas pada sepuluh orang saja.

Bahkan secara umum, Rasulullah telah bersabda kepada umatnya:

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى

"Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan." Para sahabat bertanya, "Siapa yang enggan, ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Siapa yang taat kepadaku akan masuk surga, dan siapa yang bermaksiat kepadaku sungguh ia telah enggan."

Kunu ma'aṣ-ṣādiqīn (tetaplah bersama orang-orang yang benar). Yakin adalah keyakinan yang dibawa terus hingga mati. Maka Allah berfirman: وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ (dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan [kematian]). Jadi, yakin adalah kepercayaan yang dipertahankan sampai mati, itulah keyakinan yang sesungguhnya.

Siapakah mereka itu? Mereka adalah orang-orang yang mempercayai kebenaran nilai-nilai agama, yaitu mereka yang jujur dalam beragama, tidak munafik, tidak riya', dan melakukan segala sesuatu karena Allah, tidak ingin pamer atau mengharapkan pujian dari orang lain. Mereka itulah orang-orang yang jujur dalam menjalankan nilai-nilai agama, baik dari sisi niat. Niat dalam perspektif syariat Islam sangat penting dan menentukan, sehingga Rasulullah SAW bersabda, "innamal a'malu binniyat" (sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya). Imam Syafi'i mengatakan bahwa seluruh persoalan dalam syariat Islam tercakup dalam hadis ini, yang termasuk dalam Jawami'ul Kalim, yaitu kalimat yang sederhana namun memiliki makna yang menyeluruh. Inilah salah satu bentuk mukjizat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, yaitu "utiya jawami'al kalim" (beliau diberikan perkataan yang ringkas namun padat makna). Habib Ali Bin Muhammad al-Habsyi mengatakan bahwa orang-orang Arab yang memiliki kemampuan bahasa yang sangat tinggi pun tidak mampu menghasilkan kalimat yang setara dengan jawaban Rasulullah, salah satunya adalah "innamal a'malu binniyat". Banyak hal yang dibedakan oleh niat meskipun tampak serupa, misalnya shalat dengan olahraga, puasa dengan mogok makan, bepergian biasa dengan haji, menari dengan sa'i. Begitu pentingnya niat sehingga umat ini memiliki potensi untuk menjadikan setiap kegiatannya bernilai ibadah dengan niat yang benar.

Ulama ushul menegaskan:

تَنْقَلِبُ الْعَادَةُ عِبَادَةً بِالنِّيَّةِ

"Kebiasaan rutin dapat berubah menjadi ibadah dengan niat."

Minum dan makan adalah kebutuhan tubuh, tetapi bisa menjadi ibadah bernilai tinggi jika diawali dengan niat yang baik, begitu pula dengan berpikir tentang keluarga, tidur, dan sebagainya. Inilah yang menunjukkan bahwa umat ini memiliki potensi besar untuk menjadikan seluruh aktivitas sehari-harinya bernilai ibadah, sehingga berkesempatan untuk memenuhi tujuan Allah menciptakan manusia:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." 1 Ibadah di sini tidak harus 24 jam di atas sajadah atau memegang tasbih, tetapi ketika seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, hal itu adalah ibadah dengan nilai yang sangat tinggi.   1. FORUM INTEGRITI 2023: Peranan Ketua Jabatan dalam ... mindanc.uitm.edu.my

 

Ternyata, jihad bagi umat Muhammad tidak harus di medan perang dengan menghunus pedang atau berlumuran darah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada seseorang yang ingin berjihad tetapi kedua orang tuanya masih hidup, "Fafi hima fajaaahid" (maka berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya). Jadi, jihad dalam perspektif Islam memiliki makna yang sangat luas, tidak terbatas pada perang. Ada yang bertanya ingin berjihad, ya Rasulullah, dan Rasulullah menjawab akan menunjukkan jihad tanpa pertumpahan darah, yaitu "Alhajju ila baitillahi jihadun" (haji ke Baitullah adalah jihad). Jadi, jihad memiliki makna yang sangat luas, salah satu kewajiban agama atau rukun Islam yang kelima pun merupakan jihad. Kita simpulkan bahwa jihad dalam perspektif Islam maknanya sangat luas, tidak terbatas pada sesuatu yang identik dengan mempertaruhkan nyawa dan berdarah-darah.



Dikelola oleh Nun Media