Artikel Keislaman


Edit

Menyingkap Tabir Kemunafikan, Pelajaran Dari Surat al-Taubah 101-107

Kajian Shafwat Tafasir bersama Habib Husein Ibn Alwy Binagil 2 Februari 2025

Al-Qur'an, kalamullah yang abadi, senantiasa membuka lembaran-lembaran hikmah bagi setiap insan yang merenunginya. Dalam Surah At-Taubah, khususnya ayat 101 hingga 107, kita disuguhkan potret jujur tentang hakikat kemunafikan dan kemurahan Allah dalam menerima tobat. Ayat-ayat ini, bagaikan cermin, memantulkan ragam karakter manusia dan konsekuensi pilihan-pilihan hidup mereka.

Menyelami Kedalaman Kemunafikan: Teguran Ilahi untuk Hati yang Membatu

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (107)
"Di antara orang-orang Arab Badui yang (tinggal) di sekitarmu ada orang-orang munafik. (Demikian pula) di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Nabi Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar." (QS. At-Taubah: 101)

Ayat ini berbicara tentang mereka yang di sekitar kita, baik dari kalangan Arab Badui (A'rab) maupun penduduk Madinah, yang diselimuti kemunafikan. A'rab, dalam konteks ini, merujuk pada mereka yang tinggal di pedesaan, jauh dari hiruk pikuk kota dan dinamika peradaban, tanpa memandang latar belakang etnis. Sebuah pemahaman yang keliru bila menyamakan A'rab dengan seluruh bangsa Arab, sebab A'rab mencakup siapa saja yang mendiami gurun, bahkan bila ia a'jami (non-Arab).

Terkadang, kesadaran itu mahal harganya. Ada manusia yang, meski hidup berdampingan dengan cahaya kenabian Rasulullah ﷺ, hati mereka tetap membatu dalam kemunafikan. Sosok-sosok seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, yang dahulu digadang-gadang sebagai calon raja Madinah, atau Abu Amir Ar-Rahib, seorang pendeta terkemuka, menjadi contoh nyata. Kedatangan Rasulullah ﷺ dan ajaran Islam yang dibawa-Nya telah menggoyahkan kedudukan mereka, lantas mendorong mereka memilih jalan kemunafikan.

Mereka ini, para munafik sejati, akan menerima balasan yang berlipat. Dua kali azab menanti mereka: azab di dunia, yang dapat berupa kehinaan dan penderitaan batin, serta azab di alam kubur, yang merupakan gerbang menuju azab yang lebih besar di akhirat, yakni siksa neraka yang kekal bersama orang-orang kafir dan fajir.

Tobat: Pintu Rahmat bagi Hati yang Menyesal

Namun, di tengah gambaran kemunafikan yang pekat, Al-Qur'an juga menyisakan ruang bagi harapan dan ampunan bagi mereka yang tulus menyesal.

وَاٰخَرُوْنَ اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ خَلَطُوْا عَمَلًا صَالِحًا وَّاٰخَرَ سَيِّئًاۗ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّتُوْبَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ (102)
(Ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosanya. Mereka mencampuradukkan amal yang baik dengan amal lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah: 102)

Ayat ini berbicara tentang sekelompok Muslim yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk, bukan karena kemunafikan, melainkan karena kemalasan atau kelemahan. Mereka tidak mencari-cari alasan dusta, karena mereka tahu bahwa kebohongan di hadapan Rasulullah ﷺ pasti akan terungkap oleh Allah. Mereka adalah mereka yang mengakui dosa-dosa mereka, mencampuradukkan amal saleh (seperti partisipasi dalam perang sebelumnya) dengan amal buruk (kelalaian dalam Perang Tabuk).

Penyesalan mereka tulus. Bahkan, sebagian sahabat ini mengikatkan diri di tiang-tiang masjid Nabawi, bersumpah tidak akan melepaskannya hingga tobat mereka diterima Allah. Pilar ini, yang dikenal sebagai Pilar Taubat di Masjid Nabawi saat ini, menjadi saksi bisu dari ketulusan penyesalan mereka. Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, pada akhirnya menerima tobat mereka.

Sedekah dan Doa: Penyucian Diri dan Ketenangan Hati

Sebagai bagian dari proses penerimaan tobat dan penyucian diri, Allah memerintahkan:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ (103)
Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah: 103)

Sedekah, dalam pandangan Islam, memiliki kekuatan luar biasa untuk membersihkan jiwa. Luqman Al-Hakim pernah berpesan kepada putranya:

اذا اخطأت خطيئة فأعطِ صدقة
Jika kamu berbuat dosa, bersedekahlah

Ini menunjukkan bahwa sedekah, bahkan yang terlihat kecil, dapat menutupi dosa-dosa besar. Ada kisah tentang seseorang yang diampuni dosanya yang tak terhingga berkat sedekah dua potong roti kepada fakir miskin. Sedekah juga mampu mengusir kegalauan dan kegelisahan yang timbul akibat dosa, menjadikannya penawar bagi hati yang sumpek.

Ayat ini juga membedakan antara tathhir (pembersihan fisik dari kotoran) dan tazkiyah (pemurnian jiwa dari noda dosa dan peningkatan kualitas batin). Sedekah, dengan izin Allah, tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga menyucikan hati, mengantarkan seorang hamba pada derajat abrar – pribadi yang bersih lahir dan batin, identik dengan kebaikan sejati.

Perintah

وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ
dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka

mengisyaratkan pentingnya doa orang saleh. Jangan pernah merasa cukup dengan amal diri sendiri, karena doa dari hamba-hamba Allah yang bertakwa dapat memberikan ketenangan dan keberkahan yang tak terhingga. Di akhir ayat, penyertaan

"وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ"
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

adalah penegasan bahwa setiap doa akan didengar oleh-Nya, lantas memotivasi kita untuk tidak pernah lelah berdoa.

Menerima Tobat dan Memandang Amal

اَلَمْ يَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهٖ وَيَأْخُذُ الصَّدَقٰتِ وَاَنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ (104)
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya dan menerima zakat(-nya), dan bahwa Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang? (QS. At-Taubah: 104)

Ayat ini, dengan redaksi

"وَأَنَّ اللّٰهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ"

yang menggunakan dhamir munfashil (هو), memberikan faedah pembatasan, menegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Yang Maha Penerima Tobat dan Maha Belas Kasih. Dia menerima sedekah sesuai dengan niat seseorang, karena

"النِّيَّةُ مَطِيَّةٌ"
niat adalah kendaraan

yang menentukan penerimaan suatu amal.

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ (105)
Katakanlah (Nabi Muhammad), 'Bekerjalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.' (QS. At-Taubah: 105)

Setiap amal, baik maupun buruk, akan terlihat oleh Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin. Pada akhirnya, kita akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia akan memberitakan segala yang telah kita kerjakan. Ini adalah janji sekaligus peringatan akan pertanggungjawaban kita.

Menunggu Keputusan Ilahi: Kasus Tiga Sahabat

وَآخَرُونَ مُرْجَوْنَ لِأَمْرِ اللَّهِ إِمَّا يُعَذِّبُهُمْ وَإِمَّا يَتُوبُ عَلَيْهِمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (106)
Ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan (balasannya) menunggu keputusan Allah. Mungkin Dia akan mengazab mereka dan mungkin Dia akan menerima tobat mereka. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. At-Taubah: 106)

Ayat ini merujuk pada tiga sahabat mulia – Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi', dan Hilal bin Umayyah – yang tidak ikut Perang Tabuk tanpa alasan syar'i, namun tidak segera bertaubat dan mengakui kesalahan mereka. Nabi ﷺ melarang umat untuk berbicara dengan mereka selama 50 hari, menunggu keputusan Allah. Ini menegaskan bahwa tobat hanya diterima oleh Allah semata. Kisah mereka adalah bagian dari firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 118:

"وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا"

Masjid Dhirar: Ketika Simbol Dikotori Niat Buruk

وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَّكُفْرًا وَّتَفْرِيْقًا ۢ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَاِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ مِنْ قَبْلُۗ وَلَيَحْلِفُنَّ اِنْ اَرَدْنَآ اِلَّا الْحُسْنٰىۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ (107)
(Di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), (menyebabkan) kekufuran, memecah belah di antara orang-orang mukmin, dan menunggu kedatangan orang-orang yang sebelumnya telah memerangi Allah dan Rasul-Nya. Mereka dengan pasti bersumpah, 'Kami hanya menghendaki kebaikan.' Allah bersaksi bahwa sesungguhnya mereka itu benar-benar pendusta (dalam sumpahnya). (QS. At-Taubah: 107)

Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak mudah terkecoh oleh simbol-simbol luar. Orang-orang munafik di Madinah membangun sebuah masjid yang sejatinya berfungsi sebagai pusat konspirasi melawan Rasulullah ﷺ dan umat Islam. Mereka menamainya masjid dlirar (masjid yang menimbulkan bahaya) karena niatnya yang busuk: untuk menebarkan kekufuran, memecah belah persatuan Mukmin, membela barisan kafir, dan menjadi tempat menunggu kedatangan Abu Amir Al-Fasiq bersama pasukan Romawi untuk memerangi Rasulullah.

Mereka bersumpah bahwa niat mereka hanyalah kebaikan, padahal Allah bersaksi bahwa mereka adalah pendusta. Kisah Masjid Dhirar ini adalah pelajaran abadi: tidak semua yang tampak baik dari luar memiliki esensi yang baik pula. Banyak yang berbuat sesuatu atas nama umat, namun sejatinya demi kepentingan pribadi.

Ayat-ayat ini, dengan segala kompleksitasnya, adalah panduan bagi kita untuk senantiasa mawas diri, memurnikan niat, dan berusaha menjadi hamba yang berbuat baik, di mana pun kita berada dan sekecil apa pun perbuatan itu. Sebuah renungan tentang hati manusia, yang terkadang tersembunyi jauh di balik tirai kemunafikan, namun senantiasa terbuka bagi cahaya tobat dan ampunan Ilahi.

Penulis:
Achmad Shampton Masduqi